Untuk Deienda, yang aku tunggu
Deienda, sudah tiga puluh hari lebih aku menunggu balasan surat darimu. Surat yang pernah kutuliskan untukmu, yang setelah berbulan (atau tahun?) tak kudapati lagi tulisan-tulisanmu dalam lembar wangi berwarna biru. Mengapa tak ada balasan yang kunjung datang padaku?. Dan kali ini kucoba lagi untuk menulis kata demi kataku untukmu. Ku beranikan kembali niatku mengirim lembaran-lembaran kertas untukmu.
Tiga puluh hari menunggu sungguh melelahkan bagiku, Deienda! Teramat menyiksa! Harapan besar yang aku simpan untuk segera mendapat jawaban dari rinduku kemarin lalu semakin menipis dan hampir hilang. Tapi pengembaraanku tidak akan berhenti di sini saja, Deienda. Karena aku masih sangat ingin menunggu jawaban dari tanyaku. Meski menunggu adalah ikhwal yang sangat melelahkan dan begitu menjemukan. Kukumpulkan kenangan-kenangan tentang kita, yang meski cuma kenangan kata. Semua bergerombol menjadi satu dalam cawan penampung rindu. Berdesak-desakkan menyumbat rongga imajinasi. Dan itu yang membikin aku merindumu dan masih ingin selalu menunggu jawabmu.
Iyakah pak pos tak mengirimnya pada alamat yang aku tuliskan pada amplop surat itu? Iyakah suratku menjadi surat buntu? Deienda, sampaikah tulisan dalam lembaran kertas itu padamu? Pikiran-pikiran buruk tak henti-hentinya juga merajam otakku. Tentang kemungkinan terburuk atas tulisanku yang selalu tidak berbalas darimu.
Atau jika kau sudah tidak pada tempat yang sama, di sana, lalu di mana lagi kau bertempat, Deienda? Sedang aku tak pernah tahu di mana kau melindungi dirimu dari panas dan hujan. Dan bila tulisanku ini masih saja tidak sampai padamu, tidak kau buka dengan tanganmu sendiri, tidak kau baca dengan matamu sendiri. Maka aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mencarimu kemana saja kamu pergi, Deienda.
Kali ini aku tidak akan mempercayakan tulisanku ini, suratku ini pada pak pos yang biasanya mengantarkan berpucuk-pucuk surat dariku untukmu. Kali ini aku lebih suka menitipkan lembar kertas ini pada air. Dan memang hanya untukmu, Deienda. Karena ketika aku melamunkanmu pada suatu senja yang gerimis, ditepi pantai dengan sepoi angin, tiba-tiba saja bapak tua menghampiriku, duduk bersamping denganku. Dan aku jujur saja padanya, ketika dia menanyaiku tentang suasana hatiku kepadamu, Deienda. Betapa merindunya aku pada kata yang kau tujukan padaku dulu. Bapak tua itu menyuruhku untuk menitipkan kalimatku lagi pada air dan angin saja, dengan niat dan keyakinan yang pasti. Tanpa pikir panjang kulaksanakan juga petuah dari Pak tua itu, dengan menitipkan kalimatku untuk untukmu dalam lembaran kertas yang sengaja kumasukkan pada wadah yang kubuat sendiri. Lalu aku melamunkan lagi tentangmu, Deienda. Dan mungkin inilah saatnya, ku masukkan lembaran-lembaran rinduku padamu, pada sebuah wadah yang kubuat sendiri. Aku kembali merindukanmu, Deienda.
Semoga suratku yang kutitipkan pada air dan angin ini bisa sampai juga padamu, Deienda. Lalu kau baca, dan kau akan tahu betapa aku sangat mengharapkanmu kembali seperti yang dulu dengan kalimat indahmu.
Aku mengharapkan itu, Deienda.
Aku kembali merindukanmu.
Yang merindukanmu lagi, Kamawira