Arsip untuk Menunggu

Penantian di Perbatasan

Posted in Repihan Kata with tags , on 2 Oktober 2012 by ni ariyani

Penantian di Perbatasan

 

16 September 2012

Berteman dengan untaian-untaian doa
Melarutkan diri dalam sunyi yang hening
Dengan sabar menyeka kekhawatiran yang tak beralasan

Kembali pada sepi yang menikam
Saat senja berpasrah pada malam
Sorot mata penuh harapan
Atas kepergian separuh dari hatinya

‘Separuh hatiku akan tiba sore ini. Ia sudah berjanji’

Harapan terasah
Hingga bayang seraut wajah pun datang
Kembali berpengarapan

Malam sudah menjemput senja di gerbang perbatasan
Melangkah berganti kembara

‘Assalamu’alaikum’

Hantaran yang menyapa
Senyuman kecil kembali berlabuh

Perbatasan malam dan senja adalah masa bersuanya

 

 

Menunggu untuk Menanti*

Posted in Repihan Kata with tags , , on 4 April 2012 by ni ariyani

Menunggu untuk Menanti*

23 Maret 2012 pukul 12:05 ·

Temannya hanya waktu
Sahabatnya cuma lagu
Buku dan pena itu adalah kekasihnya dalam menunggu

 

Baris demi baris terisi dengan rangkaian kata yang menari, menjuntai indah lewat mimpi

 

Niat baik itu jadi nafasnya agar mampu berjibaku dalam menunggu

 

Dia masih [tetap] menanti dalam menunggu

 

 

 

*bersabarlahdalamsujudkhusukmu,nak!

Masih*

Posted in Repihan Kata with tags , , on 11 Oktober 2011 by ni ariyani

Masih*

 

04 Oktober 2011 jam 8:44

Masih menungguinya dalam semburat senja yang menyapa

Dalam ketidakberdayaan nalar yang semakin mengembara menghilang

Hanya linglung menjadikan sahabat dalam selimut galau

Dan doa ini selalu membuntut dalam segala laku

Mengirim bayangan-bayangan menuju bangku putih yang hanya berpenghuninya dan aku

Masih menungguinya yang wajib aku puja

Dalam ikatan senja!

🙂
*-wajibberharapsampaikapanpun-

Menunggui Setengah Nyawa

Posted in Repihan Kata with tags , , , , , , on 26 Mei 2011 by ni ariyani

Menunggui Setengah Nyawa

20 Mei 2011 jam 20:06
Dan ketika yang lain adalah dengan pasangannya masing-masing, aku cuma menunggu!
Bumi sudah dengan langit, api sudah dengan air, bulan sudah dengan bintang.
Aku masih menunggu.
Langit berikan kecerahan pada bumi dengan biru lautnya. Air mencurahkan segala kekalemannya pada api. Dan bintang, ia selalu bersamping dengan bulan yang entah apapun keadaan bulan.

Sedang aku hanya menunggu!

Dunia tawa adalah milik mereka yang tertawa. Berbunga adalah milik mereka yang jatuh cinta.

Aku masih tetap menunggu, menungguinya!

Menunggu nyawa untuk setengah ruhku.

Untuk Deienda, yang Aku Tunggu

Posted in Cuma Serpihan with tags , , on 30 Januari 2011 by ni ariyani

Untuk Deienda, yang aku tunggu

 

Deienda, sudah tiga puluh hari lebih aku menunggu balasan surat darimu. Surat yang pernah kutuliskan untukmu, yang setelah berbulan (atau tahun?) tak kudapati lagi tulisan-tulisanmu dalam lembar wangi berwarna biru. Mengapa tak ada balasan yang kunjung datang padaku?. Dan kali ini kucoba lagi untuk menulis kata demi kataku untukmu. Ku beranikan kembali niatku mengirim lembaran-lembaran kertas untukmu.

Tiga puluh hari menunggu sungguh melelahkan bagiku, Deienda! Teramat menyiksa! Harapan besar yang aku simpan untuk segera mendapat jawaban dari rinduku kemarin lalu semakin menipis dan hampir hilang. Tapi pengembaraanku tidak akan berhenti di sini saja, Deienda. Karena aku masih sangat ingin menunggu jawaban dari tanyaku. Meski menunggu adalah ikhwal yang sangat melelahkan dan begitu menjemukan. Kukumpulkan kenangan-kenangan tentang kita, yang meski cuma kenangan kata. Semua bergerombol menjadi satu dalam cawan penampung rindu. Berdesak-desakkan menyumbat rongga imajinasi. Dan itu yang membikin aku merindumu dan masih ingin selalu menunggu jawabmu.

Iyakah pak pos tak mengirimnya pada alamat yang aku tuliskan pada amplop surat itu? Iyakah suratku menjadi surat buntu? Deienda, sampaikah tulisan dalam lembaran kertas itu padamu? Pikiran-pikiran buruk tak henti-hentinya juga merajam otakku. Tentang kemungkinan terburuk atas tulisanku yang selalu tidak berbalas darimu.

Atau jika kau sudah tidak pada tempat yang sama, di sana, lalu di mana lagi kau bertempat, Deienda? Sedang aku tak pernah tahu di mana kau melindungi dirimu dari panas dan hujan. Dan bila tulisanku ini masih saja tidak sampai padamu, tidak kau buka dengan tanganmu sendiri, tidak kau baca dengan matamu sendiri. Maka aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan mencarimu kemana saja kamu pergi, Deienda.

Kali ini aku tidak akan mempercayakan tulisanku ini, suratku ini pada pak pos yang biasanya mengantarkan berpucuk-pucuk surat dariku untukmu. Kali ini aku lebih suka menitipkan lembar kertas ini pada air. Dan memang hanya untukmu, Deienda. Karena ketika aku melamunkanmu pada suatu senja yang gerimis, ditepi pantai dengan sepoi angin, tiba-tiba saja bapak tua menghampiriku, duduk bersamping denganku. Dan aku jujur saja padanya, ketika dia menanyaiku tentang suasana hatiku kepadamu, Deienda. Betapa merindunya aku pada kata yang kau tujukan padaku dulu. Bapak tua itu menyuruhku untuk menitipkan kalimatku lagi pada air dan angin saja, dengan niat dan keyakinan yang pasti. Tanpa pikir panjang kulaksanakan juga petuah dari Pak tua itu, dengan menitipkan kalimatku untuk untukmu dalam lembaran kertas yang sengaja kumasukkan pada wadah yang kubuat sendiri. Lalu aku melamunkan lagi tentangmu, Deienda. Dan mungkin inilah saatnya, ku masukkan lembaran-lembaran rinduku padamu, pada sebuah wadah yang kubuat sendiri. Aku kembali merindukanmu, Deienda.

Semoga suratku yang kutitipkan pada air dan angin ini bisa sampai juga padamu, Deienda. Lalu kau baca, dan kau akan tahu betapa aku sangat mengharapkanmu kembali seperti yang dulu dengan kalimat indahmu.

Aku mengharapkan itu, Deienda.

Aku kembali merindukanmu.

 

 

Yang merindukanmu lagi, Kamawira